Minggu, 25 September 2016

Makalah bahasa arab sebagai bahasa penduduk surga


BAB I
                                        PENDAHULUAN     

A.    Latar Belakang
Bahasa Arab merupakan bahasa tertua di dunia dan juga merupakan salah satu bahasa yang paling sering digunakan di dunia terutama oleh kaum muslimin karena merupakan bahasa kitab suci Al-Qur’an. Selain dari itu ada banyak orang yang berpendapat bahwa Bahasa Arab adalah bahasa penghuni surga, namun tidak ada dalil yang pasti mengenai hal itu. Sampai sekarang belum bisa dipastikan bahwa Bahasa Brab adalah bahasa penghuni surga.


B.     Rumusan Masalah
1.      Benarkah bahasa arab adalah bahasa penghuni surga?
2.      Apakah umat islam wajib mempelajari bahasa arab?


C.    Tujuan Penulisan
selain untuk menyelesaikan tugas bahasa arab, makalah ini juga dapat memberi kita informasi apakah bahasa arab merupakan bahasa penghuni surga atau tidak dan juga kita bisa mengetahui apa hukum mempelajari bahasa arab.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    BAHASA ARAB BUKAN BAHASA PENGHUNI SURGA
Ada sebuah hadist Nabi SAW. yang berbunyi “Aku mencintai Arab karena tiga hal: karena aku orang Arab, al-Qur’an berbahasa Arab, dan bahasa Arab adalah bahasa penduduk Surga.” (HR: Thabrani). Banyak ulama yang mengatakan bahwa hadits ini dhaif, bahkan sebagian menyatakan palsu. Namun imam as-Suyuthi dalam Jamiu Shagir-nya memasukan hadits ini dengan derajat shahih.
Riwayat tentang bahasa Arab yang paling tinggi derajatnya hanya sampai mauquf ke Umar bin Khatab RA, tentang perkataanya “Pelajarilah bahasa Arab, karena ia adalah separoh agamamu.” Dalam riwayat lain disebutkan “bagian dari agamamu”. Penejelasan ini bersumber dari Musnad Firadus ad-Dalimi. Ada pula hadits mauquf yang sampai ke Ali bin Abi Thalib yang berbunyi “bahasa Arab adalah bahasa Surga.” Hadits ini di-dhaifkan oleh az-Zahabi.
Ketika ditanya tentang bahasa penduduk surga, Ibnu Taimiyah menjawab dalam Majmu Fatawa-nya, bahwa tidak bisa diketahu bahasa apa yang digunakan kelak di surga. Karena tidak ada keterangan dari al-Qur’an maupun Hadits. Tidak pernah juga didengar dari sahabat bahwa bahasa Arab adalah bahasa penduduk surga. Namun, menurut beliau ada perbedaan pendapat di antara para ulama khalaf. Ada yangaberpendapat bahwa penduduk surga akan berbicara dengan bahasa Arab, sedangkan penduduk neraka akan berbicara dalam bahasa Persia.
Beberapa pendapat mengatakan, penduduk Surga akan berbicara dalam bahasa Suryani sebagaimana dipakai oleh Nabi Adam AS dan diyakini bahwa semua bahasa berasal dari bahasa ini. Namun, masih menurut Ibnu Taimiyah, semua pendapat itu tidak bisa dijadikan hujah karena tidak bersumber dari al-Qur’an maupun Hadits.
Secara sekilas, Hadits di atas seakan mengkampanyekan “Arabisasi” dalam segala hal. Padahal, Nabi SAW diutus untuk seluruh bangsa di dunia. Dan orang-orang Islam yang shaleh bisa masuk surga meskipun tidak bisa berbahasa Arab.
Secara logika, memang bahasa Arab bisa menjadi slah-satu Media untuk mengantarkan orang masuk surga. Bahasa Arab ibarat kunci untuk membuka ilmu-ilmu pengetahuan Islam. Al-Qur’an dan Hadits adala sumber-sumber hukum Islam yang paling asli dan berbahasa Arab. Begitu juga para ulama mengarang kitab-kitab keislaman dalam bahasa Arab. Artinya orang akan memahami Islam dengan sempurna jika ia menguasai bahasa Arab.
Dalam Iqtidha as-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah berkata” Sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri termasuk dari bagian agama Islam. Mempelajarinya adalah wajib, sebab mempelajari al-Qur’an dan Sunah adalah wajib hukumnya, sementara keduanya tidak dapat difahami dengan benar kecuali dengan memahami bahasa Arab. Kewajiban yang tidak akan sempurna dengan suatu wasilah, maka wasilah tersebut ikut menjadi wajib hukumnya.

B.     Hukum Mempelajari Bahasa Arab
Mempelajari bahasa Arab adalah fardhu kifayah, artinya harus ada sebagian orang yang mempelajarinya. Tujuan bahasa Arab dipelajari adalah supaya mudah dalam memahami Al-Qur’an sebagai referensi kita dalam kehidupan. Tadi pandangan dari sisi umat.
Namun jika dipandang tiap individu, setiap orang harus mempelajari bahasa Arab sekadar ilmu wajib yang bisa membantunya untuk menjalankan yang wajib seperti membantunya untuk shalat, membaca Al-Qur’an atau berdzikir. Karena amalan-amalan tadi tidak bisa kecuali dengan bahasa Arab. Berarti harus bisa baca Al-Qur’an dengan bahasa Arab walau hanya dari hafalan, bisa shalat dengan bacaan bahasa Arab, begitu pula harus bisa berdzikir memakai bahasa Arab.

Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,
يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ مِنْ لِسَانِ العَرَبِ مَا يَبْلُغُ جُهْدَهُ فِي أَدَاءِ فَرْضِهِ
“Wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab dengan sekuat tenaga agar bisa menjalankan yang wajib.”

Selain untuk bisa menjalankan yang wajib dengan bahasa Arab, mempelajari bahasa Arab untuk maksud lainnya dihukumi sunnah. Adapun orang yang ingin paham syari’at secara mendalam tetap wajib baginya mempelajari bahasa Arab supaya bisa memahami Al-Qur’an dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar.

Imam Asy-Syathibi berkata,
“Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab secara keseluruhan. Untuk memahaminya dituntut harus dengan mempelajari bahasa Arab secara khusus. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنزلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2)
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara: 195).
لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (QS. An-Nahl: 103)

Dan memang memahami bahasa Arab akan mudah untuk memahami kalamullah, Al-Qur’an.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,  “Sudah semestinya untuk Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dipahami lafazhnya dengan yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana kalam Allah bisa dipahami? Tentu dengan mempelajari bahasa Arab di mana bahasa inilah yang dijadikan bahasa dialog dengan kita. Dari pemahaman pada bahasa itulah kita bisa tahu kehendak Allah dan Rasul-Nya.”(Majmu’ah Al-Fatawa, 7: 116)














BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Sampai sekarang belum diketahui apakah bahasa arab merupakan bahasa penghuni surga atau bukan, karena tidak adanya dalil yang pasti. Namun sebagai umat muslim kita wajib untuk mempelajari bahasa arab karena dengan mempelajari bahasa arab kita dapat lebih mudah dalam mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
B.      Saran
Dunia ini hanya sementara, jadi kita sebaiknya memperbanyak amal ibadah kepada Allah SWT daripada kita membahas sesuatu yang tidak pasti.
Mempelajari bahasa arab adalah wajib bagi kita, walaupun sampai sekarang belum diketahui apakah bahasa arab adalah bahasa penghuni surga atau bukan.















DAFTAR PUSTAKA
http://gunawanktt.blog.uns.ac.id/2014/11/07/benarkah-ahli-surga-akan-berbicara-dengan-bahasa-arab/
http://islammakalah.blogspot.co.id/p/blog-page_3564.html
https://rumaysho.com/12724-apa-hukum-mempelajari-bahasa-arab.html

Rabu, 24 Februari 2016

MEMAHAMI UNSUR-UNSUR HADITS
A. PENGERTIAN SANAD, MATAN, RAWI, MUKHARIJ HADITS

1. Sanad hadits

Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berati mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian karena, karena hadits itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis,difinisi sanad ialah: ”silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadits”.

Silsilah orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pegertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.

2. Matan Hadits

Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’amin al-aradhi(tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa difinisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Pada salah satu definisi yang sangat sederhana misalnya, disebutkan bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad . Dari definisi diatas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits.

Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan :”lafazh-lafazh hadits yang didalamnya megandung makna makna tertentu”.
Jadi dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.

Penelitian Sanad dan Matan Hadits

Penelitian terhadap sanad dan matan hadits (sebagai dua unsur pokok hadits)sangat diperlukan, bukan karena hadits itu diragukan otentisitasnya. Penelitian ini dilakukan untuk meyaring unsur-unsur luar yang masuk kedalam hadits baik yang disegaja maupun yang tidak disegaja,baik yang sesuai dengan dalil-dalil naqli lainya atau tidak sesuai.maka dengan penelitian terhadap kedua unsur hadits diatas, hadits-hadits masa rasul SAW dapat terhindar dari segala yang megotorinya.

Faktor yang paling utama perlunya dilakuakan penelitian ini, ada dua hal yaitu: pertama, karena beredarnya hadits palsu (manudhu) pada kalangan masyarakat; kedua hadits-hadits tidak ditulis secara resmi pada masa rasul SAW (berbeda dengan al-quran), sehinga penulisan hanya bersifat individul (tersebar di tangan pribadi sahabat) dan tidak meyeluruh.

3. Rawi Hadits

Kata rawi atau arawi, berati orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan hadits. Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang merawikan/meriwayatkan, dan memindahkan hadits.

Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut para rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi yabaqah berikutnya. Akan tetapi yang membedakan kedua istilah diatas ialah, jika dilihat dari dalam dua hal yaitu:

Pertama
, dalam hal pembukuan hadits. Orang-orang yang menerima hadits kemudian megumpulkanya dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian perawi dapat disebutkan dengan mudawwin, kemudian orang-orang yang menerima hadits dan hanya meyampaikan kepada orang lain, tanpa membukukannya disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini dapat disebutkan bahwa setiap sanad adalah perawi pada setiap tabaqagnya, tetapi tdak setiap perawi disebut sanad hadits karena ada perawi yang langsung membekukanya.

Kedua
: dalam penyebutan silsilah hadits, untuk susunan sanad, berbeda dengan peyebutan silsilah susunan rawi. Pada silsilah sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang lasung meyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya. Sedangkan pada rawi yang disebut rawi pertama ialah para sahabat Rasul SAW. Dengan demikian penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya rawi pertama sanad terakhir dan sanad pertama adalah rawi terakhir.

Untuk lebih memperjelas uraian tentang sanad, matandan rawi di atas yang lebih lanjut pada hadits di bawah ini.
Abubakar bin Abi Syaibah dan Abukarib telah menceritakan (hadits) kepada kami yang diterimanya dari al-A’masy dari umara bin umair. Dari Abd ar-rahman bin yazi, dari Abdullah bin mas’ud katanya: ”Rasulullah SAW telah bersabda kepada kami: wahai sekalian pemuda barang siapa yang sudah mampu untuk melakukan pernikaha, maka menikahlah, karena dengan menikah itu(lebih dapat) menjaga kehormatan. Akan tetapi barang siapa yang belum mampu melakukannya, baginya hendaklah berpuasa. Karena dengan berpuasa itu dapat menahan hasrat seksual” [H.Ral-Bukhari dan Muslim].

Di sini dapat kita jelaskan bahwa:
Dari nama Abu Bakar bin abi syaibah sampai dengan Abdullah bin mas’ud merupakan silsilah atau rangkaian /susunan orang-orang yang meyampaikan hadits. Itu semua adalah sanad hadits tersebut, yang juga sebagai jalan matan.

Dan mulai kata “wahai sekalian pemuda sampai degan berpuasa dapat menahan hasrat seksual” adalah matan, materi atau lafaz hadits tersebut yang mengandung makna.

4. Takhrij Hadits

Pegertian menurut bahasa, Kata “takrhij” dari kata kharaja,yakharruju,yang secara bahasa mempunyai bermacam-macam arti. Menurut mahmud ath-tahhan,asal kata takhrij ialah;”berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu persoalan”.

Pegertian secara terminologi, 
Menurut Mahmud ath-tahhan pegertian takhrij adalah, “Petunjuk tentang tempat atau letak hadits pada sumber aslinya, yang diriwayatkan dengan meyebutkan sanadnya, kemudian di jelaskan martabat atau kedudukanya manakala di perlukan.”

Bedasarkan definisi diatas, maka men-takhrij berati melakukan dua hal:

Pertama, berusaha menemukan para penulis hadits itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad-nya.
Kedua, memberikan penilaian kulitas hadits apakah hadits tersebut itu shahih atau tidak.

Ilmu thakrij merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai, sebab di dalamnya dibicarakan tentang berbagai kaidah untuk megetahui darimana sumber hadits itu berasal, selain itu didalamnya ditemukan bayak kegunaan dan hasil yang diperoleh khusunya dalam menentukan kualitas sanad hadits.

a. Gelar keahlian bagi imam hadits
Mengingat jasa dan usaha para ulama hadits yang sangat besar dalam upaya pembinaan dan pengembangan hadits, kepada mereka diberikan laqab atau gelar-gelar tertentu, baik itu mereka yang ada pada thabaqah pertama, kedua, ketika, dan seterusnya. Gelar itu antara lain ialah:
  1. Al-muhaddits, merupakan gelar untuk ulama yang meguasai hadits, baik dari sudut ilmu riayah maupun di rayah, mampu membedakan hadits dha’if dari yang sahih, meguasai hadits-hadits yang mukthalif dan hallain yang berkaitan dengan ilmu hadits.
  2. Amir al-mu’minin fi al-hadits, merupakan gelar bagi ulama ahli hadits termasyhur pada masanya, yang memiliki keistimewaan hafalan dan pegetahuan dalam bidang ilmu hadits (baik terhadap matan atau sanadnya). Gelar ini diberikan di antaranya kepada syu’bah bin al-hajjaj, sufyan ats-tsauri, ishak ibn ruhawaih, malik bin anas, ahmad bin hanbal, al-bukhari, ad-daruquthni, az zahabi, dan ibn hajar al-asqalani.
  3. Al-hakim, merupakan gelar untuk ulama yang dapat meguasai seluruh hadits, baik dari sudut matan dan sanadnya jarh dan ta’dil-nya, maupun tariknya, ulama yang dapat gelar seperti ini, ialah Ibnu Dinar, Al-laits, dan Asy-syafi’i.
  4. Al-Hujjah, merupakan gelar untuk ulama yang dapat menghafal sekitar 300.000 hadits beserta keadaan sanadnya. Diantara ulama yang mendapat gelar ini Muhammad ibn Abdullah ibn Amir.
  5. Al- Hafizh merupakan gelar untuk ulama yang memiliki sifat-sifat seorang Muhaddis. Ulama yang dapat gelar Al-Hafizh adalah yang dapat menghafal dan menguasai 100.000 hadits, baik matan maupun sanadnya, meskipun dengan jalan sanad yang berbilang, juga mengetahui hadits sahih dan ilmu haditsnya. Menurut Al-Mizzi, gelar al-hafizh ialah untuk ulama yang kadar lupanya sedikit daripada yang ingatannya. 
Selain gelar Al-Hafizh, ada juga gelar Hafizh Hujjah, dua gelar disatukan. Gelar ganda ini diberikan untuk ulama yang menguasai hadits lebih dari 100.000 sampai dengan 300.000 hadits.

b. Istilah-istilh kumpulan periwayat
Hadits-hadits yang diriwayatkan dan dihimpun oleh para mudawwin satu dengan yang lainya tidak sama , sehingga bisa jadi sesuatu hadits diriwayatkan oleh satu,dua,atau tiga perawi, bisa jadi pula hadits lainya hanya diriwayatkan oleh satu perawi.berkaitan dengan ini, maka muncul istilah-istilah atau sebutan-sebutan dalam periwayatan hadits antara lain:
  1. akhrajahu syaikhani: hadits tersebaut diriwayatkan oleh kedua perawi hadits (al-bukhari dan muslim)
  2. akhrajahu shalasah: hadits tersebut diriwayatkan oleh tiga perawi hadits(abu daud,at-turmidzi, dan an nasa’i)
  3. akhrajahu arba’atun: hadits tersebut diriwayatkan oleh empat perawi (abu daud,at-turmidzi,an-nasa’i, dan ibn-majah)
  4. akhrajahu khamsatun: hadits tersebut diriwayatkan oleh (abu daud, at-turmidzi, an-nasa’i,ibn majah, dan ahmad)
  5. akhrajahu sit’tatun: hadits tersebut diriwayatkan oleh(al-bukhari,muslim,abu daud, at turmidzi, an nasa’i, dan ibnu majah)
  6. akhrajahu sab’atun: hadits tersebut diriwayakan oleh(al-bukhari, muslim, abu-daud, at-turmidzi, an-nasai, ibn majah, ahmad)
  7. akhrajahu jama’atan: hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama hadits

Senin, 22 Februari 2016

memahami unsur-unsur hadis





MEMAHAMI UNSUR-UNSUR HADITS
A. PENGERTIAN SANAD, MATAN, RAWI, MUKHARIJ HADITS

1. Sanad hadits

Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berati mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian karena, karena hadits itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis,difinisi sanad ialah: ”silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadits”.

Silsilah orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pegertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.

2. Matan Hadits

Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’amin al-aradhi(tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa difinisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Pada salah satu definisi yang sangat sederhana misalnya, disebutkan bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad . Dari definisi diatas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits.

Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan :”lafazh-lafazh hadits yang didalamnya megandung makna makna tertentu”.
Jadi dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.

Penelitian Sanad dan Matan Hadits

Penelitian terhadap sanad dan matan hadits (sebagai dua unsur pokok hadits)sangat diperlukan, bukan karena hadits itu diragukan otentisitasnya. Penelitian ini dilakukan untuk meyaring unsur-unsur luar yang masuk kedalam hadits baik yang disegaja maupun yang tidak disegaja,baik yang sesuai dengan dalil-dalil naqli lainya atau tidak sesuai.maka dengan penelitian terhadap kedua unsur hadits diatas, hadits-hadits masa rasul SAW dapat terhindar dari segala yang megotorinya.

Faktor yang paling utama perlunya dilakuakan penelitian ini, ada dua hal yaitu: pertama, karena beredarnya hadits palsu (manudhu) pada kalangan masyarakat; kedua hadits-hadits tidak ditulis secara resmi pada masa rasul SAW (berbeda dengan al-quran), sehinga penulisan hanya bersifat individul (tersebar di tangan pribadi sahabat) dan tidak meyeluruh.

3. Rawi Hadits

Kata rawi atau arawi, berati orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan hadits. Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang merawikan/meriwayatkan, dan memindahkan hadits.

Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut para rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi yabaqah berikutnya. Akan tetapi yang membedakan kedua istilah diatas ialah, jika dilihat dari dalam dua hal yaitu:

Pertama
, dalam hal pembukuan hadits. Orang-orang yang menerima hadits kemudian megumpulkanya dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian perawi dapat disebutkan dengan mudawwin, kemudian orang-orang yang menerima hadits dan hanya meyampaikan kepada orang lain, tanpa membukukannya disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini dapat disebutkan bahwa setiap sanad adalah perawi pada setiap tabaqagnya, tetapi tdak setiap perawi disebut sanad hadits karena ada perawi yang langsung membekukanya.

Kedua
: dalam penyebutan silsilah hadits, untuk susunan sanad, berbeda dengan peyebutan silsilah susunan rawi. Pada silsilah sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang lasung meyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya. Sedangkan pada rawi yang disebut rawi pertama ialah para sahabat Rasul SAW. Dengan demikian penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya rawi pertama sanad terakhir dan sanad pertama adalah rawi terakhir.

Untuk lebih memperjelas uraian tentang sanad, matandan rawi di atas yang lebih lanjut pada hadits di bawah ini.
Abubakar bin Abi Syaibah dan Abukarib telah menceritakan (hadits) kepada kami yang diterimanya dari al-A’masy dari umara bin umair. Dari Abd ar-rahman bin yazi, dari Abdullah bin mas’ud katanya: ”Rasulullah SAW telah bersabda kepada kami: wahai sekalian pemuda barang siapa yang sudah mampu untuk melakukan pernikaha, maka menikahlah, karena dengan menikah itu(lebih dapat) menjaga kehormatan. Akan tetapi barang siapa yang belum mampu melakukannya, baginya hendaklah berpuasa. Karena dengan berpuasa itu dapat menahan hasrat seksual” [H.Ral-Bukhari dan Muslim].

Di sini dapat kita jelaskan bahwa:
Dari nama Abu Bakar bin abi syaibah sampai dengan Abdullah bin mas’ud merupakan silsilah atau rangkaian /susunan orang-orang yang meyampaikan hadits. Itu semua adalah sanad hadits tersebut, yang juga sebagai jalan matan.

Dan mulai kata “wahai sekalian pemuda sampai degan berpuasa dapat menahan hasrat seksual” adalah matan, materi atau lafaz hadits tersebut yang mengandung makna.

4. Takhrij Hadits

Pegertian menurut bahasa, Kata “takrhij” dari kata kharaja,yakharruju,yang secara bahasa mempunyai bermacam-macam arti. Menurut mahmud ath-tahhan,asal kata takhrij ialah;”berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu persoalan”.

Pegertian secara terminologi, 
Menurut Mahmud ath-tahhan pegertian takhrij adalah, “Petunjuk tentang tempat atau letak hadits pada sumber aslinya, yang diriwayatkan dengan meyebutkan sanadnya, kemudian di jelaskan martabat atau kedudukanya manakala di perlukan.”

Bedasarkan definisi diatas, maka men-takhrij berati melakukan dua hal:

Pertama, berusaha menemukan para penulis hadits itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad-nya.
Kedua, memberikan penilaian kulitas hadits apakah hadits tersebut itu shahih atau tidak.

Ilmu thakrij merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai, sebab di dalamnya dibicarakan tentang berbagai kaidah untuk megetahui darimana sumber hadits itu berasal, selain itu didalamnya ditemukan bayak kegunaan dan hasil yang diperoleh khusunya dalam menentukan kualitas sanad hadits.

a. Gelar keahlian bagi imam hadits
Mengingat jasa dan usaha para ulama hadits yang sangat besar dalam upaya pembinaan dan pengembangan hadits, kepada mereka diberikan laqab atau gelar-gelar tertentu, baik itu mereka yang ada pada thabaqah pertama, kedua, ketika, dan seterusnya. Gelar itu antara lain ialah:
  1. Al-muhaddits, merupakan gelar untuk ulama yang meguasai hadits, baik dari sudut ilmu riayah maupun di rayah, mampu membedakan hadits dha’if dari yang sahih, meguasai hadits-hadits yang mukthalif dan hallain yang berkaitan dengan ilmu hadits.
  2. Amir al-mu’minin fi al-hadits, merupakan gelar bagi ulama ahli hadits termasyhur pada masanya, yang memiliki keistimewaan hafalan dan pegetahuan dalam bidang ilmu hadits (baik terhadap matan atau sanadnya). Gelar ini diberikan di antaranya kepada syu’bah bin al-hajjaj, sufyan ats-tsauri, ishak ibn ruhawaih, malik bin anas, ahmad bin hanbal, al-bukhari, ad-daruquthni, az zahabi, dan ibn hajar al-asqalani.
  3. Al-hakim, merupakan gelar untuk ulama yang dapat meguasai seluruh hadits, baik dari sudut matan dan sanadnya jarh dan ta’dil-nya, maupun tariknya, ulama yang dapat gelar seperti ini, ialah Ibnu Dinar, Al-laits, dan Asy-syafi’i.
  4. Al-Hujjah, merupakan gelar untuk ulama yang dapat menghafal sekitar 300.000 hadits beserta keadaan sanadnya. Diantara ulama yang mendapat gelar ini Muhammad ibn Abdullah ibn Amir.
  5. Al- Hafizh merupakan gelar untuk ulama yang memiliki sifat-sifat seorang Muhaddis. Ulama yang dapat gelar Al-Hafizh adalah yang dapat menghafal dan menguasai 100.000 hadits, baik matan maupun sanadnya, meskipun dengan jalan sanad yang berbilang, juga mengetahui hadits sahih dan ilmu haditsnya. Menurut Al-Mizzi, gelar al-hafizh ialah untuk ulama yang kadar lupanya sedikit daripada yang ingatannya. 
Selain gelar Al-Hafizh, ada juga gelar Hafizh Hujjah, dua gelar disatukan. Gelar ganda ini diberikan untuk ulama yang menguasai hadits lebih dari 100.000 sampai dengan 300.000 hadits.

b. Istilah-istilh kumpulan periwayat
Hadits-hadits yang diriwayatkan dan dihimpun oleh para mudawwin satu dengan yang lainya tidak sama , sehingga bisa jadi sesuatu hadits diriwayatkan oleh satu,dua,atau tiga perawi, bisa jadi pula hadits lainya hanya diriwayatkan oleh satu perawi.berkaitan dengan ini, maka muncul istilah-istilah atau sebutan-sebutan dalam periwayatan hadits antara lain:
  1. akhrajahu syaikhani: hadits tersebaut diriwayatkan oleh kedua perawi hadits (al-bukhari dan muslim)
  2. akhrajahu shalasah: hadits tersebut diriwayatkan oleh tiga perawi hadits(abu daud,at-turmidzi, dan an nasa’i)
  3. akhrajahu arba’atun: hadits tersebut diriwayatkan oleh empat perawi (abu daud,at-turmidzi,an-nasa’i, dan ibn-majah)
  4. akhrajahu khamsatun: hadits tersebut diriwayatkan oleh (abu daud, at-turmidzi, an-nasa’i,ibn majah, dan ahmad)
  5. akhrajahu sit’tatun: hadits tersebut diriwayatkan oleh(al-bukhari,muslim,abu daud, at turmidzi, an nasa’i, dan ibnu majah)
  6. akhrajahu sab’atun: hadits tersebut diriwayakan oleh(al-bukhari, muslim, abu-daud, at-turmidzi, an-nasai, ibn majah, ahmad)
  7. akhrajahu jama’atan: hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama hadits